Selasa, 30 Januari 2018

Cerpen: RAHASIA PELUH

Brusssshhhh.....
         Ubi yang sudah digerus dengan alat pengiris ubi itupun dimasukkan kedalam minyak panas disebuah tungku api tua yang ada disudut dapur. Asap pun mulai mengepul dan berlari riang sampai ke langit-langit dapur. Suasana masih sangat sunyi, karena matahari pun belum siap menampakkan diri dan kehangatannya. Hawa dinginpun masih sangat terasa.
         Di sana, disudut dapur dapat terlihat pemilik tangan yang sudah menunjukkan keriputnya sibuk mengaduk-aduk ubi yang sedang digorengnya. Ia terlihat sangat bersemangat. Terlihat dari gerakannya yang masih lincah dan senandungannya yang ceria. Dari sudut yang lain, aku memandangnya dengan penuh kekaguman. ya, dialah Mamaku. Pahlawanku yang sangat aku cintai. Ketegarannya dalam menghadapi permasalahan hidup membuatku terenyuh.
Bagaimana tidak, disaat umurku baru 8 tahun, ayahku pergi meninggalkan kami bersama perempuan lain. Masih segar dalam ingatanku ketika malam itu secara tidak sengaja aku mendengarkan percakapan orangtuaku. Bisa dikatakan itu malam terakhir aku melihat wajah ayahku.
"Pa, kenapa kamu tega melakukan ini pada keluarga kita? Kenapa Pa? Kasihan Novi, Pa. Dia masih terlalu kecil untuk kamu tinggalkan. Dia masih butuh kasih sayang dan perhatian kamu.
Tolong jangan tinggalkan kami, PA" Mamaku menangis.
"Maafin papa, Ma. Papa tidak punya pilihan lain. Tolong jaga Novi." Hanya itu yang Papa ucapkan kepada Mama. Ya, kalimat terakhir. Sampai sekarang, aku tak pernah bisa menemukan maksud dari ucapan Papa yang mengatakan bahwa ia tak  punya pilihan lain.
Mungkin ada cerita yang tersembunyi di antara kedua orang tuaku. Entahlah. Aku tak pernah berani bertanya. Karena jika aku bertanya, aku hanya akan membuka luka lagi dalam hati mamaku.
Sejak peristiwa malam itu, Mamaku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beliau pun memanfaatkan keahliannya dalam membuat kue dan kerupul dengan menjual kerupuk ke warung-warung kecil dan kantin sekolahku.
"Nov, kamu tidak malu kan menjual kerupuk ke kantin sekolahmu?" tanya Mama pada suatu hari.
"Ya nggak lah, Ma. Kenapa Novi harus malu? Toh, Novi nggak mencuri kan? Lagian pekerjaaan inipun halal, Ma" jawabku.
           Mamaku terharu dan memelukku penuh kasih. Aku memang tidak pernah merasa malu menitipkan kerupukku ke kantin sekolah. Aku sudah terbiasa mendapatkan pandangan sinis dari teman-temanku ketika aku menusuri koridor sekolah sambil membawa dua plastik besar berisi kerupuk yang akan kutitipkan.
"Heh, dasar pemulung pembawa sampah! cuma jadi virus dan kuman sekolah! Issshh, jauh-jauh sana! Pecundang tengik!"
           PECUNDANG TENGIK. Itulah yang dikatakan Sesha, salah satu primadona sekolah yang hanya mengandalkan kecantikan dan kekayaan orang tuanya. Hal itu membuatku merasakan kesedihan yang mendalam. Tetapi, ucapannya lah yang akhirnya mendorongku untuk melampaui diriku. Aku belajar dengan sangat keras dan aku ingin membuktikan bahwa aku bukanlah pecundang seperti yang dikatakannya.
"Nov, kamu harus banyak istirahat, Nak. Jangan belajar terlalu keras. Perhatikan kesehatanmu," Mama selalu menasihatiku.
Aku menatap Mama dan menggenggam tangannya.
"Ma, semua ini aku lakuin demi Mama. Aku ngaak mau orang-orang selalu memandang rendah kita, Ma. Aku janji, Ma. Aku akan belajar dengan giat, dan kelak bisa membahagiakanMama. Mama cukup doakan aku dan aku pasti akan baik-baik aka," Mamapu memelukku.
"Makasih, sayang. Mama akan selalu mendoakan kamu. dan ingat, Nov. Apapun uang kamu lakukan, iringi itu dengan doa kepada Tuhan. Usaha dan doa. Oke?"
"siap, MA," Kamipun kembali berpelukan.
          Usahaku pun tak sia-sia. Setiap akhir semester, aku selalu meraih peringkat pertama. Mamaku selaku bahagia dan senang terhadap prestasiku. Kerja kerasku terbayar lunas oleh tawa dan senyum bahagia Mama.
           Hal itu terus berlangsung sampai aku duduk di Perguruan Tinggi. Ya, perjuangan Mama yang selalu menomorsatukan pendidikanku tidak sia-sia. Akupun mengajukkan beasiswa dan diterima. Kesempatan itupun aku pergunakan sebaik-baiknya.
            Kuliah adalah nomor satu bagiku. Tugas-tugas ku kerjakan dengan sangat baik. Hasilnya pun sangat memuaskan. Aku yakin, hanya pendidikan yang mampu menyelamatkan aku. Satu nasihat dari Mama yang tak pernah aku lupakan, "Mama tidak bisa membekalimu dengan harta, Nov. Karena seberaap banyakpun harta yang diberikan, lama kelamaan itu pasti akan habis. Yang bisa Mama berikan hanyalah ilmu, baik ilmu hidup maupun ilmu pendidikan yang kamu dapat. Itulah yang akan menyelamatkan hidupmu, karena ilmu tak akan pernah habis," begitulah nasihat yang selalu aku pegang.
            Sekarang, aku berhasil menduduki posisi penting disalah satu perusahaan di kota setelah aku lulus dari Perguruan Tinggi dengan predikat Cumlaude dan menjadi wisudawati terbaik. Salah satu pencapaian terbesar dalam hidupku lewat doa dan perjuangan seorang Mamaku.
"Selamat, Nov. Papa bangga padamu. Maafkan atas semua kesalahan, Papa. Papa tahu kamu membenci Papa, tapi Papa sangat mencintaimu. Selamat, Ma. Kamu sudah mendidik Novi dengan baik. Papa sayang kalian,. Begitulah isi surat singkat dari Papa yang aku terima tepat didepan intu rumahku. Aku dan Mamaku menangis. Terbesit rasa rindu yang amat dalam pada sosok Papa. Walaupun beliau meninggalkanku, tapi beliau tetap Papaku, dan aku percaya bahwa Papa masih sangat menyayangi kami dan tak akan pernah mellupakan kami.
"No, Kenapa kamu berdiri disitu? Sini, duduk di dekat Mama." Aku pun tersadar dari lamunan panjangku dan menyadari bahwa matahari mulai menunjukkan sinarnya. Akupun menghampiri Mama.
"Kamu sendang mikirin apa sayang?" tanya mamaku.
"Ndak lagi mikir apa-apa kok, Ma," Jawabku mengelak/
"Yang benar?"
"Benar, Ma. Ma, ada yang mau Novi omongin ke Mama, " ucapku sambil mengggenggam tangan Mamaku.
"KAmu mau ngomong apa, Nov?" tanya Mama
"Ma, setelah rumah Novi selesai dibangun, Mama pidah dan tinggal sama Novi, ya? Novi nggak mau Mama tinggal sendirian di sini. Novi ingin Mama tinggal di rumah yang lebih baik."
"Terus rumah ini siapa yang ngurus, Nov?" tanya Mama
"Rumah ini kan bisa kita kontrakkan, Ma, gimana?"
"Yasudah, Mama ikut aja apa kata kamu sayang. Nah sekarang, bantu Mama bungkusin kerupuk ya, setelah itu titipin ke warung yang biasanya. Masih mau kan bantuin Mama?" tanya Mama menggoda.
"Hahaha, ya maulah, Ma. Biar bagaimanapun kerupuk ini pernah menjadi saksi bisu perjuanganku," jawabku sambil tersenyum.
              2 tahun kemudian, aku bersama Mama kembali ke rumah itu. Suasananya masih sama dengan pohon-pohon rindang disekitarnya. Sejuk dan asri, Tetapi ada satu hal ang membuatku terkejut. Ya, penghuni baru rumah itu. Masih ingat Sesha kan Temanku yang mengeapku sebagai Pecundang Tengik! Ya, dialah yang kini menjadi penghuni rumah lamaku yag telah ku kontrakkan 2 tahun yang lalu. Ia dengan malu memandangku dan bercerita bahwa orang tuanya bangkrut dan meninggal setahun yang lalu. IA pun hamil di luar nikah, kuliahnya berantakan dan kini mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil. Sedangkan suaminya adalah seorang pengangguran. Ceritanya sungguh miris. "Maafkan aku Nov. Dulu aku sering menghinamu." ujarnya sambil menangis. Ku genggam tangannya dan berkata, "kamu tidak perlu minta maaf. Justru ucapanmulah yang mendorong aku dan memotivasiku sehingga aku bisa seperti sekarang," jawabku sambil tersenyum.
Perjalanan hidupku mengajarkan aku sebuah pelajaran, bahwa ada dua jenis manusia di dalam hidup ini, yaitu seorang pecundang dan seorang pemenang. Tetapi dunia selalu memberikan kesempatan bagi si pecundang agar bisa menjadi pemenang. Sekarang, tergantung manusianya yang memilih. Apakah akan terus menjadi seorang pecundang, atau maju menjadi sang pemenang!

Karya: Agnes Novi Krismayanti/ PBSI/ 2015
Image result for pemenang



Puisi: PESAN UNTUK PEMUDA NEGERIKU


Angin sepoi-sepoi meninabobokan anakku dalam peraduan...
Sunyi...
Akupun menyanyikan lagu sendu sambil mengusap-usap kepalanya...
Terlihat tangan mungil gemetar memegangi perut yang terlihat kempes, karena sang cacing yang terus mendekap dan menyiksa..
Adam ku, yang seharusnya menjadi ksatria keluarga tertidur pulas beralaskan arak yang menyengat...
Terlintas dibenakku kisah dulu, 
Andaikan ku dengar kata ibu dan ayahku,
Orang tua penuh kasih yang penuh peluh membiayai sekolahku, bahkan terpisah jarak dan rantau demi sesuap nasi, selembar ilmu, dan setitik pena untukku
NAmun, ku balas air susunya dengan air tuba yang meluluhlantakkan perasaannya, 
Memang ku anak durhaka, mencoreng diri dan negeri,
Andaikan tak kucabik  harga diriku dengan pisau-pisau laknat nafsu dunia
Andai bisa ku pertahankan benteng imanku,
Dan andai-andai lain yang makin membuatku semakin terpuruk dalam lobang penyesalan..
Kini ku miris melihat nasibku sendiri, hidup ditengah kerimbunan hutan luas penuh dengan sesal dan derita
Setiap air mata dalam doa yang ku panjatkan, selalu terlintas setitik penuh harap untuk anakku yang kelak menjadi generasi penerus negeriku...
Lawanlah pisau-pisau laknat yang hendak mencabik-cabik harga diri dan kehormatanmu dengan tinta-tinta pena emas pengukir masa-masa indahmu.
Jadikan tinta penamu sebagai perisai penghalau pasukan yang hendak menghancurkan daerah aman penyimpan harta masa depanmu...
Isilah tabung dunia mudamu dengan keharuman prestasi...
Jadilah pemuda pemudi negeri yang berhiaskan sikap laksana api semangat yang terus membara, membiaskan harapan dan cita-cita negeri kelak yang berada ditanganmu..
Bangunlah benteng masamu dengan berdasarkan larangan juga kasih-Nya..
Jadikan orang tua, Soekarno dan negerimu tersenyum haru bangga
Kembalikan dan jadikan merah benderamu semakin merah, menutup kekusaman yang kini memonopolinya
Kembalikan dan jadikan putih benderamu semakin putih, menutup noda-noda hitam yang hampir merajainya. 
Kembalikan senyum negeri dan bentuklah damai lewat perjuanganmu...
Dan diatas semuanya itu, tetaplah kita tunduk pasrah berserah kepada kuasa-Nya, karna kita hanyalah bagaikan debu yang gampang terserak tertiup angin dunia.


Karya: Agnes Novi Krismayanti/ PBSI/ 2015

Image result for pemuda

Puisi: HISTORY

Langit mendung, bertutup kelam, hitam, pekat
Dentuman, hentakan, tembakan menggaung, melolong tiada henti, tak berbatas
Darah, merah, tulang belulang berserakan, teriakan, nada-nada jerit dan tangis menjadi warna dan hiasan ditengah ganasnya yang beradu
Suasana mencekam, sedikitpun tak tergores indah
Pakaian berlumpur, aroma busuk pun tak kuasa menolak untuk menebar sengatnya
Bambu runcing dan hujan di hari itu seakan menjadi saksi bisu betaapa besar perjuangan para bunga bangsa memperjuangkan satu nama INDONESIA
Jiwa hanya satu keinginan, bebasnya tanah lahir dari kejamnya berlenggu rantai jiwa-jiwa jajah
Raga melahirkan kekuatannya dengan tempur di medan perang, niat habisi parasit negeri yang kejam menggerogoti.
Senyum merekah diawal pagi kepada anak istri
Namun Pulang hanya tinggal dengan bibir senyum beku dan tubuh kaku
Oh, sungguh besar perjuangan yang bulat mulia dan sempurna
Hasilkan keharuman abadi, sampai dasar hati dan sampai berganti generasi
Kini, kepahitan, kengerian, telah terkubur mati bersama jasad yang bersemayam di tanah negeri
yang bernyawa, kini sudah renta, raganya semakin lemah dimakan usia
Namun sejarah tak kan terhapus, terpatri indah dalam setiap hembusan  nafas
Warisan histori untuk anak cucuku
Perjuangkan negeri, jangan biarkan darah tertumpah jadi percuma
Jangan jadikan pengorbanan jadi sia-sia belaka dan berlalu semu
Inilah sepenggal kisah
Dari bunga bangsa negeri
Dengarkan dan patrikan dalam hati sanubari....

Karya: Agnes Novi Krismayanti/ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/ 2015
Image result for perjuangan

Puisi: IBU PERTIWIKU

Mentari pagi menyinari dunia
Memberi warna pada pesona Indonesia
Gunung dan lautan tersebar dari sabang sampai merauke
Menjadi satu jajaran pesona yang begitu elok nan permai
Oh sungguh aku kagum Indonesiaku...

         Keberagaman budaya yang beraneka ragam
         Tujuh belas ribu lebih pulau yang tersebar
         Bahkan aneka flora dan fauna yang hidup di Indonesia
         Sungguh.... membuatku bersyukur
         Dan selalu bersyukur dan berterima kasih

Tuhan terima kasih atas ciptaan-Mu yang begitu indah
Terima kasih atas kesempatan-Mu aku dilahirkan di dunia ini

Tak kusia-siakan kesempatan-Mu
TUk jaga ibu pertiwiku
Indonesia sampai akhir hayatku....

Karya: Devita Mutiasari/ Pendidikan Matematika/ 2016



Image result for ibu pertiwi

Puisi: JEJAK

Disettiap langkah kakimu
Tertinggalah sebuah jejak yang aku harapkan
Berharap jejak itu datang lagi padaku
      Mulai senja berdatangan
      Dingin menghampiri
      Aku merindu
      Mata bulatmu seperti bulan purnama
      Pelukanmu sehangat senja
      Suara langkah kakimu mengetarkan hati
      Suara indahmu bagaikan kicauan burung
      Itu suara yang aku rindukan
Jejak yang kau tinggalkan bersamaku
menanam indah kenangan kita berdua


Karya: Nanda Hayuning/ Manajemen/ 2016

Image result for jejak

Puisi: BIMBANG

Masih teringat dalam benak
Bagaimana kita tertawa bersama
Namun kini...
Aku hanya mampu bersandar  pada khayal
Dalam kelamku...
Aku seperti berada diujung jurang
Jurang antara kebodohan atau harapan

Aku tau...
Daun yang jatuh tak akan
Membenci angin
Membiarkan diri ini hancur
Ikhlas melepas tanpa kebencian
Duduk termenung bimbang berangan

Karya: Diyah Ayu D/ Manajemen/ 2016


Image result for bimbang

Puisi: KESENDIRIAN

Waktu terus berputar
Hari terus berganti
Bulan begitu cepat berganti
Namun hidup tetap begini
Tetap sendiri dan sendiri
Banyak insan yang bercinta
Banyak insan yang berceria dan bahagia

Namun, diri tetap begini dalam kesendirian
Masih tetap sendiri dan kehidupan masih begini
Aku mencoba terus hadapi dan jalani
Segala yang menerpa hidupku ini
Aku harus menikmati hidup ini
Agar segalanya berubah dan berakhir
Bengan keindahan, kebersamaan dan kebahagiaan.

Karya: Alivia Rahma/ Manajemen/ 2016

Related image

Puisi: LAMUNAN RINDU


Senja menyambut bulan
Dalam lamunan...
Terlintas bayang semu
Bayang akan hadirnya
Sosok yang selalu dinanti
Rembulan pun tersenyum
Seakan,
Bintang-bintang pun menari
Ku menatapnya..
Berharap bintang menyambutku
Namun hati ini..
Berada dalam senja
Seandainya dia hadir
Bersama bintang-bintang
Menyambutku dan membawaku

Karya: Novinda Karisma/ D3 Farmasi/ 2016
Image result for rindu