Ubi yang sudah digerus dengan alat pengiris ubi itupun dimasukkan kedalam minyak panas disebuah tungku api tua yang ada disudut dapur. Asap pun mulai mengepul dan berlari riang sampai ke langit-langit dapur. Suasana masih sangat sunyi, karena matahari pun belum siap menampakkan diri dan kehangatannya. Hawa dinginpun masih sangat terasa.
Di sana, disudut dapur dapat terlihat pemilik tangan yang sudah menunjukkan keriputnya sibuk mengaduk-aduk ubi yang sedang digorengnya. Ia terlihat sangat bersemangat. Terlihat dari gerakannya yang masih lincah dan senandungannya yang ceria. Dari sudut yang lain, aku memandangnya dengan penuh kekaguman. ya, dialah Mamaku. Pahlawanku yang sangat aku cintai. Ketegarannya dalam menghadapi permasalahan hidup membuatku terenyuh.
Bagaimana tidak, disaat umurku baru 8 tahun, ayahku pergi meninggalkan kami bersama perempuan lain. Masih segar dalam ingatanku ketika malam itu secara tidak sengaja aku mendengarkan percakapan orangtuaku. Bisa dikatakan itu malam terakhir aku melihat wajah ayahku.
"Pa, kenapa kamu tega melakukan ini pada keluarga kita? Kenapa Pa? Kasihan Novi, Pa. Dia masih terlalu kecil untuk kamu tinggalkan. Dia masih butuh kasih sayang dan perhatian kamu.
Tolong jangan tinggalkan kami, PA" Mamaku menangis.
"Maafin papa, Ma. Papa tidak punya pilihan lain. Tolong jaga Novi." Hanya itu yang Papa ucapkan kepada Mama. Ya, kalimat terakhir. Sampai sekarang, aku tak pernah bisa menemukan maksud dari ucapan Papa yang mengatakan bahwa ia tak punya pilihan lain.
Mungkin ada cerita yang tersembunyi di antara kedua orang tuaku. Entahlah. Aku tak pernah berani bertanya. Karena jika aku bertanya, aku hanya akan membuka luka lagi dalam hati mamaku.
Sejak peristiwa malam itu, Mamaku harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Beliau pun memanfaatkan keahliannya dalam membuat kue dan kerupul dengan menjual kerupuk ke warung-warung kecil dan kantin sekolahku.
"Nov, kamu tidak malu kan menjual kerupuk ke kantin sekolahmu?" tanya Mama pada suatu hari.
"Ya nggak lah, Ma. Kenapa Novi harus malu? Toh, Novi nggak mencuri kan? Lagian pekerjaaan inipun halal, Ma" jawabku.
Mamaku terharu dan memelukku penuh kasih. Aku memang tidak pernah merasa malu menitipkan kerupukku ke kantin sekolah. Aku sudah terbiasa mendapatkan pandangan sinis dari teman-temanku ketika aku menusuri koridor sekolah sambil membawa dua plastik besar berisi kerupuk yang akan kutitipkan.
"Heh, dasar pemulung pembawa sampah! cuma jadi virus dan kuman sekolah! Issshh, jauh-jauh sana! Pecundang tengik!"
PECUNDANG TENGIK. Itulah yang dikatakan Sesha, salah satu primadona sekolah yang hanya mengandalkan kecantikan dan kekayaan orang tuanya. Hal itu membuatku merasakan kesedihan yang mendalam. Tetapi, ucapannya lah yang akhirnya mendorongku untuk melampaui diriku. Aku belajar dengan sangat keras dan aku ingin membuktikan bahwa aku bukanlah pecundang seperti yang dikatakannya.
"Nov, kamu harus banyak istirahat, Nak. Jangan belajar terlalu keras. Perhatikan kesehatanmu," Mama selalu menasihatiku.
Aku menatap Mama dan menggenggam tangannya.
"Ma, semua ini aku lakuin demi Mama. Aku ngaak mau orang-orang selalu memandang rendah kita, Ma. Aku janji, Ma. Aku akan belajar dengan giat, dan kelak bisa membahagiakanMama. Mama cukup doakan aku dan aku pasti akan baik-baik aka," Mamapu memelukku.
"Makasih, sayang. Mama akan selalu mendoakan kamu. dan ingat, Nov. Apapun uang kamu lakukan, iringi itu dengan doa kepada Tuhan. Usaha dan doa. Oke?"
"siap, MA," Kamipun kembali berpelukan.
Usahaku pun tak sia-sia. Setiap akhir semester, aku selalu meraih peringkat pertama. Mamaku selaku bahagia dan senang terhadap prestasiku. Kerja kerasku terbayar lunas oleh tawa dan senyum bahagia Mama.
Hal itu terus berlangsung sampai aku duduk di Perguruan Tinggi. Ya, perjuangan Mama yang selalu menomorsatukan pendidikanku tidak sia-sia. Akupun mengajukkan beasiswa dan diterima. Kesempatan itupun aku pergunakan sebaik-baiknya.
Kuliah adalah nomor satu bagiku. Tugas-tugas ku kerjakan dengan sangat baik. Hasilnya pun sangat memuaskan. Aku yakin, hanya pendidikan yang mampu menyelamatkan aku. Satu nasihat dari Mama yang tak pernah aku lupakan, "Mama tidak bisa membekalimu dengan harta, Nov. Karena seberaap banyakpun harta yang diberikan, lama kelamaan itu pasti akan habis. Yang bisa Mama berikan hanyalah ilmu, baik ilmu hidup maupun ilmu pendidikan yang kamu dapat. Itulah yang akan menyelamatkan hidupmu, karena ilmu tak akan pernah habis," begitulah nasihat yang selalu aku pegang.
Sekarang, aku berhasil menduduki posisi penting disalah satu perusahaan di kota setelah aku lulus dari Perguruan Tinggi dengan predikat Cumlaude dan menjadi wisudawati terbaik. Salah satu pencapaian terbesar dalam hidupku lewat doa dan perjuangan seorang Mamaku.
"Selamat, Nov. Papa bangga padamu. Maafkan atas semua kesalahan, Papa. Papa tahu kamu membenci Papa, tapi Papa sangat mencintaimu. Selamat, Ma. Kamu sudah mendidik Novi dengan baik. Papa sayang kalian,. Begitulah isi surat singkat dari Papa yang aku terima tepat didepan intu rumahku. Aku dan Mamaku menangis. Terbesit rasa rindu yang amat dalam pada sosok Papa. Walaupun beliau meninggalkanku, tapi beliau tetap Papaku, dan aku percaya bahwa Papa masih sangat menyayangi kami dan tak akan pernah mellupakan kami.
"No, Kenapa kamu berdiri disitu? Sini, duduk di dekat Mama." Aku pun tersadar dari lamunan panjangku dan menyadari bahwa matahari mulai menunjukkan sinarnya. Akupun menghampiri Mama.
"Kamu sendang mikirin apa sayang?" tanya mamaku.
"Ndak lagi mikir apa-apa kok, Ma," Jawabku mengelak/
"Yang benar?"
"Benar, Ma. Ma, ada yang mau Novi omongin ke Mama, " ucapku sambil mengggenggam tangan Mamaku.
"KAmu mau ngomong apa, Nov?" tanya Mama
"Ma, setelah rumah Novi selesai dibangun, Mama pidah dan tinggal sama Novi, ya? Novi nggak mau Mama tinggal sendirian di sini. Novi ingin Mama tinggal di rumah yang lebih baik."
"Terus rumah ini siapa yang ngurus, Nov?" tanya Mama
"Rumah ini kan bisa kita kontrakkan, Ma, gimana?"
"Yasudah, Mama ikut aja apa kata kamu sayang. Nah sekarang, bantu Mama bungkusin kerupuk ya, setelah itu titipin ke warung yang biasanya. Masih mau kan bantuin Mama?" tanya Mama menggoda.
"Hahaha, ya maulah, Ma. Biar bagaimanapun kerupuk ini pernah menjadi saksi bisu perjuanganku," jawabku sambil tersenyum.
2 tahun kemudian, aku bersama Mama kembali ke rumah itu. Suasananya masih sama dengan pohon-pohon rindang disekitarnya. Sejuk dan asri, Tetapi ada satu hal ang membuatku terkejut. Ya, penghuni baru rumah itu. Masih ingat Sesha kan Temanku yang mengeapku sebagai Pecundang Tengik! Ya, dialah yang kini menjadi penghuni rumah lamaku yag telah ku kontrakkan 2 tahun yang lalu. Ia dengan malu memandangku dan bercerita bahwa orang tuanya bangkrut dan meninggal setahun yang lalu. IA pun hamil di luar nikah, kuliahnya berantakan dan kini mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil. Sedangkan suaminya adalah seorang pengangguran. Ceritanya sungguh miris. "Maafkan aku Nov. Dulu aku sering menghinamu." ujarnya sambil menangis. Ku genggam tangannya dan berkata, "kamu tidak perlu minta maaf. Justru ucapanmulah yang mendorong aku dan memotivasiku sehingga aku bisa seperti sekarang," jawabku sambil tersenyum.
Perjalanan hidupku mengajarkan aku sebuah pelajaran, bahwa ada dua jenis manusia di dalam hidup ini, yaitu seorang pecundang dan seorang pemenang. Tetapi dunia selalu memberikan kesempatan bagi si pecundang agar bisa menjadi pemenang. Sekarang, tergantung manusianya yang memilih. Apakah akan terus menjadi seorang pecundang, atau maju menjadi sang pemenang!
Karya: Agnes Novi Krismayanti/ PBSI/ 2015